BANJARMASINPOST.CO.ID – Ketika kita berbicara tentang jabatan makan termasuk di dalamnya dengan kekuasan. Dua hal ini seperti keping mata uang yang memilki dua sisi. Di dalamnya ada status dan peranan.
Status adalah kedudukan atau tempat sesorang dalam masyarkat. Sebagai pejabat publik melekat di sana nilai dan norma aturan terkait posisi sebagai pejabat dengan beberapa kuasa di sana, melaksanakan tupoksi pekerjaannya, mengawasi sekaligus mengevaluasinya.
Sedangkan peran adalah tindakan atau perilaku yang diharapkan dari seseorang sesuai statusnya. Artinya peran itu berhubungan dengan hal-hal yang ideal, pemimpin yang jujur, teladan dan contoh baik dan seterusnya.
Tentu, pejabat publik itu status sosial yang dalam hirarki stratifikasi masuk status elit, karena di situ ada kekuasaan (Baca Kuasa politik dan ekonomi).
Meminjam istilah posisi stratifikasi, ada level top clas, middle dan low class. Maka pejabat publik masuk top class.
Baca juga: Tegur Lewat Pendekatan nan Sopan dan Santun
Pejabat publik itu elit, terbatas, terhormat, diteladani dan terpandang dalam pandangan masyarakat.
Tidak semua orang bisa sampai pada level ini. Semua orang berlomba untuk sampai level ini. Bisa sampai level ini lewat jalur prestasi, kesepakatan politik dan kedekatan personal.
Terkait kasus ada pejabat yang bersikap arogan karena merasa mendapat hak istimewa, kita bisa mempertanyakan pejabat tersebut, apakah menyadari status dia sebagai pejabat publik atau tidak.
Cara mendapatkannya lewat jalur prestasi atau instan. Bila pejabat ini membangunnya dari bawah, lewat prestasi kerja keras, jujur dan disiplin serta mampu membangun relasi sosial yang baik, maka ketika sampai level atas prilaku sindrom kekuasan itu tidak akan muncul.
Sebaliknya kalau instan tiba-tiba langsung di atas tanpa proses dari bawah, biasanya muncul sikap dan prilaku arogan, Semena-mena pada orang lain yang rendah statusnya
Perilaku arogan ini muncul bisa karena faktor genetik dan biologis (sifat pemarah), faktor lingkungan keseharian yang ditemui dalam hidup (terbentuk dalam keluarga) atau bisa juga karena faktor psikologis berupa pengalaman masa kecil, trauma dan pernah direndahkan orang lain.
Dalam jabatan publik itu sebenarnya sudah ada kode etik terkait protokolernya, tinggal mau membaca dan mentaatinya. Ini yang sering terjadi, seolah olah bebas aturan.
Ada dua cara untuk memangkas sikap arogan pejabat di depan publik, pertama secara eksternal berupa produk hukum, aturan tatib dan sanksi yang tegas bagi pejabat yg melanggar.
Kalau dalam pemerintahan sudah pasti ada aturan ini, tinggal memberi sanksinya yang belum atau tidak berani menerapkannya.
Teladan dan contoh pemimpin dalam hal ini sangat penting, biasanya sanksi hanya teguran lisan dan sanksi moral. Jarang berupa sanksi administrasi berupa penundaan kenaikan pangkat. Paling mutasi/roling jabatan.
Cara yang kedua yaitu secara internal. Ini terkait dengan personal psikologis seseorang. Perasaan bahwa dalam jabatan publik terdapat tanggung jawab teologis terhadap Tuhan lewat sumpah jabatan dan tanggung jawab sosial dengan amanah jabatan tersebut.
Artinya proses internalisasi nilai dan norma dari invidu tersebut harus di tata dulu. Dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini, peran media sangat efektif sebagai alat kontrol sosial.
Apalagi ketika semua orang memiliki handphone, dengan kemampuannya dalam merekam mencatat, mengedit, menggambar dan memvideo peristiwa sekitar.
Dalam bahasa sederhana peristiwa sekitar kita gampang diviral kan. (Hati-hati dalam berbicara, bersikap dan berprilaku).
(Banjarmasinpost.co.id/M Rahmadi)