Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi sedikit cerita pengalaman liburan kami di Pulau Saparua, Maluku Tengah beberapa waktu lalu.
Liburan, biasanya, identik dengan petualangan seru, eksplorasi tempat baru, dan momen-momen penuh keceriaan, bukan?
Namun, liburan kami di Pulau Saparua, Maluku Tengah, membawa cerita yang tak biasa.
Iya, sebuah perjalanan, yang awalnya penuh antusiasme, berujung pada pengalaman unik, yang akan selalu kami kenang sepanjang waktu.
Perjalanan dimulai dari Jakarta pada 25 Desember 2024. Kami menaiki KM Nggapulu, sebuah kapal Pelni yang membawa kami menuju Pulau Ambon.
Lima hari di atas laut, adalah kombinasi antara menikmati pemandangan laut yang luas, dan bergelut dengan rasa bosan di kabin kapal.
Tapi, perjalanan panjang itu, justru menjadi pengingat bahwa, sering kali, kesederhanaan bisa menjadi sumber kebahagiaan tersendiri.
Kami tiba di Ambon pada 30 Desember pukul 08.00 WIT, siap untuk memulai petualangan baru di Saparua, tempat kelahiran keluarga.
Namun, siapa sangka, setibanya di Saparua, tubuh kami berdua malah menyerah. Kelelahan akibat perjalanan panjang, membuat kami harus menghabiskan waktu di ruang IGD RSUD Saparua pada 2 Januari.
Itu pertama kalinya kami berdua diinfus, dan rasanya sungguh aneh. Mungkin, kedengarannya seperti pengalaman kurang menyenangkan, tapi entah kenapa, ada sisi humor yang kami temukan di tengah kondisi itu.
Kami tertawa bersama—antara bingung dan pasrah—menerima situasi yang tak terduga.
Meski sudah dirawat, kami belum sepenuhnya pulih. Kondisi kami naik turun, membuat liburan ini lebih banyak dihabiskan di dalam rumah orang tua.
Rencana-rencana besar untuk menjelajahi negeri/desa, menikmati pantai, atau menyusuri jalan-jalan kecil di Saparua pun batal.
Tapi, justru di situlah kami menemukan hal yang tak kalah berharga—waktu berkualitas bersama keluarga.
Hari-hari di rumah menjadi kesempatan untuk istimewa berbicara lebih dalam dengan orang tua dan adik-adik kami.
Obrolan ringan tentang masa kecil, hingga diskusi serius soal masa depan mengisi waktu kami.
Sesekali, kami keluar rumah untuk sekadar membeli kue tradisional di pasar atau menikmati udara segar di Benteng Durstede, salah satu peninggalan sejarah yang menjadi kebanggaan masyarakat Saparua.
Benteng yang baru saja dipugar ini, seolah bercerita tentang masa lalu yang penuh perjuangan, berdiri kokoh di tengah hijau pepohonan dan birunya laut.
Kami juga menyempatkan diri mengunjungi makam almarhum Papa dan Opa yang terletak di dusun, di tengah hutan kecil.
Tempat itu, begitu tenang, hanya ditemani suara burung dan desiran angin. Rasanya, ada kedamaian tersendiri ketika mengenang mereka di tempat yang begitu alami dan sederhana.
Sayangnya, karena kondisi fisik yang belum pulih, kami tak sempat bertemu dengan teman-teman lama di Saparua.
Rasanya, ada sedikit rasa bersalah, tapi kami berharap suatu hari nanti bisa kembali dengan tubuh yang lebih sehat dan waktu yang lebih panjang.
Meski begitu, kami tetap bersyukur bisa berada di pulau ini, menikmati momen-momen kecil yang mungkin tak kami sadari jika berada dalam keadaan sehat sepenuhnya.
Ketika waktu liburan hampir usai, kami menghadapi tantangan lain. Kondisi tubuh yang belum prima memaksa kami untuk membatalkan tiket KM Labobar, kapal Pelni yang seharusnya membawa kami kembali ke Jakarta pada 11 Januari.
Sebagai gantinya, kami memesan tiket pesawat Batik Air. Harga tiketnya? Jangan ditanya. Mahal sekali!
Tapi, di saat seperti itu, kami hanya bisa pasrah dan berharap semuanya berjalan lancar.
Meski liburan ini, tidak seperti yang kami bayangkan, ada begitu banyak hal yang tetap bisa disyukuri.
Di sela-sela waktu istirahat, saya berhasil menyelesaikan 18 artikel untuk platform favorit saya, Kompasiana.
Menulis di Kompasiana menjadi pelarian yang menenangkan, cara untuk tetap merasa produktif di tengah keterbatasan.
Sementara itu, istri saya lebih banyak menghabiskan waaktu untuk berbincang dengan keluarga besar saya.
Kami belajar untuk menikmati setiap momen kecil, tanpa perlu merasa terbebani oleh harapan yang terlalu tinggi.
Pulau Saparua sendiri adalah tempat yang istimewa. Iya, udara di sini segar, pemandangan langit yang indah, dan keramahan penduduknya memberikan rasa damai yang sulit ditemukan di kota besar seperti Jakarta.
Meski kami tidak banyak menjelajah, hanya berada di sana sudah cukup untuk merasakan kedamaian yang luar biasa. Saya pikir, pulau ini sangat cocok untuk menjalani slow living.
Ketika akhirnya tiba saatnya pulang, ada perasaan campur aduk. Di satu sisi, kami rindu rumah dan kenyamanan di Jakarta.
Tapi, di sisi lain, meninggalkan Saparua berarti meninggalkan keluarga dan kenangan yang baru saja tercipta.
Perjalanan pulang dengan pesawat Batik Air menjadi penutup yang mengingatkan kami bahwa, setiap liburan memiliki cerita uniknya sendiri, tidak selalu tentang kesenangan, tapi juga tentang pelajaran dan kebersamaan.
Liburan kali ini, mengajarkan kami untuk menerima apa yang ada, untuk bersyukur atas hal-hal kecil, dan untuk tetap menikmati perjalanan meski tidak sesuai rencana.
Kami mungkin sakit, tapi hati kami tetap penuh dengan kenangan manis bersama keluarga dan momen-momen sederhana di Pulau Saparua.
Dan siapa tahu, di lain kesempatan, kami bisa kembali ke sana dengan tubuh yang lebih sehat, rencana yang lebih matang, dan tentunya, waktu yang lebih panjang untuk menikmati keindahan Pulau Saparua.