Beberapa bulan belakangan ini, saya geleng-geleng kepala melihat tingkah polah beberapa keponakan laki-laki saya yang baru lulus sekolah menengah atas. Pasalnya, mereka sedang keranjingan mengisap rokok elektronik atau populer disebut sebagai vape. Kata mereka dalam bahasa yang kurang lebih sama, “nge-vape itu tren om dan lebih aman kan?”
Pernyataan itu seakan menggemakan sentimen luas yang terjadi di kalangan remaja dan anak muda bahwa vape itu lebih aman dari segi kesehatan. Mungkin ini karena gencarnya iklan beberapa pemasar rokok elektronik di media sosial terkait hal itu.
Saya pun penasaran, apakah betul rokok elektronik itu aman, atau setidaknya lebih kecil risikonya, bagi kesehatan? Apalagi jika dibandingkan dengan rokok konvensional. Untuk menjawab rasa penasaran ini, untungnya saya mendapatkan buku Berhenti Merokok terbitan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pada 2024. Di bab 5, ada satu bab komprehensif bertajuk “Rokok Elektronik” yang ditulis oleh Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Agus Dwi Susanto, SpP (K). Kemudian, ada juga ppt presentasi “Hasil Kajian dan Studi Klinik Rokok Elektronik dan Penyakit Paru di Indonesia” yang juga disusun oleh Prof. Agus. Beberapa hasil penelitian yang sesuai dengan konteks lokal karena melibatkan subjek penelitian dari Indonesia saya sarikan sebagai berikut:
1. Studi Yoan Astri et al. (2019) tentang pengaruh asap rokok elektronik pada hewan-coba menemukan bahwa tikus yang diberikan pajanan kadar nikotin 3 miligram rokok elektronik pada akhirnya menunjukkan kerusakan jaringan paru secara histologis dan migrasi makrofag alveolar.
2. Putra et al (2019) melakukan kajian yang hasilnya adalah baik mencit yang diberikan paparan rokok konvensional maupun rokok elektronik ternyata menunjukkan kerusakan yang mirip berupa edema alveolus, destruksi septum alveolus, serta infiltrasi pada gambaran histopatologis.
3. Studi Saragih et al. (2023) mengungkapkan 65,3% pengguna rokok elektronik memiliki ketergantungan nikotin berdasarkan kuesioner Penn State Nicotine Dependent Index. Penelitian ini juga menemukan gejala keluhan respirasi yang sering dirasakan oleh pengguna rokok elektronik, yaitu batuk pada pagi hari (1-2 kali seminggu) dan sesak napas saat latihan (kurang dari satu kali per minggu). Gejala pun semakin berat seiring semakin lama perokok menggunakan rokok elektronik.
4. Studi Jatmiko et al. (2021) pada 30 orang pengguna rokok elektronik di Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, mendapati bahwa semua subjek mengalami gangguan pada faal paru mereka.
5. Penelitian Gafur M (2021) pada 45 remaja pengguna rokok elektronik di Kabupaten Bondowoso mengkonfirmasi bahwa 39 subjek atau 86,7% menunjukkan abnormalitas volume tidal (volume udara yang masuk dan keluar dari paru-paru saat proses pernapasan berlangsung).
6. Prof Agus Dwi Susanto (2024) menemukan laporan kasus laki-laki 18 tahun yang menggunakan vape selama tiga bulan terakhir kemudian datang dengan keluhan sesak napas dan batuk-batuk sejak tiga minggu terakhir. Laki-laki ini mengalami demam di awal disertai batuk berbercak darah sedikit. Hasil rontgen pasien menemukan infiltrat di bawah kanan kiri. Pasien ini lantas didiagnosis mengidap pneumonia (radang paru).
Enam studi lokal di atas akhirnya menjawab pertanyaan saya. Pada akhirnya, rokok elektronik tidaklah lebih aman bagi kesehatan dibandingkan rokok konvensional. Singkat kata, rokok elektronik juga berbahaya. Bahkan, rokok elektronik dapat meningkatkan risiko kesehatan dua kali lipat akibat fenomena dual user, yaitu perokok konvensional menambah konsumsi rokok mereka dengan rokok elektronik alias vape karena dianggap keren dan trendi.