Gagal di “A Business Proposal”, Falcon Pictures Sukses di Film Lainnya

  • Share
Gagal di “A Business Proposal”, Falcon Pictures Sukses di Film Lainnya

Falcon Pictures adalah salah satu rumah produksi film terkemuka di Indonesia, yang telah menciptakan banyak film sukses dan menjadi bagian penting dari industri perfilman nasional. 

Kegagalan di film A Business Proposal yang merupakan film adaptasi dari serial drama Korea memang menyakitkan.

Namun, pada awal berdirinya, Falcon pernah mengalami kerugian signifikan–sekira Rp30 miliar dari sepuluh film pertama yang diproduksi. 

Dengan tekad dan inovasi dalam pemilihan cerita serta strategi pemasaran, Falcon berhasil bangkit dan meraih kesuksesan.

Falcon Pictures saat ini sudah mengambil alih distribusi film dan membeli hak cipta serta merestorasi film-film klasik Indonesia. 

Lisensi lebih dari 300 film Indonesia menjadi milik mereka, antara lain film- film dari Benyamin S., Warkop, Rhoma Irama, dan beberapa film legendaris Indonesia lainnya.

Data Penonton dan Potensi Kerugian Film A Business Proposal

Sejak hari pertama tayang pada 6 Februari 2025, film ini hanya berhasil meraup 6.900 penonton, angka yang jauh di bawah ekspektasi untuk sebuah film adaptasi dengan basis penggemar yang kuat.

Dalam beberapa hari berikutnya, jumlah penonton terus menurun. Pada tanggal 10 Februari 2025, total penonton tercatat hanya 19.631 dari 2.308 showtimes.

Hingga enam hari setelah rilis, jumlah penonton meningkat tipis menjadi sekira 26.000. Per Jumat, 14 Februari 2025, poster A Business Proposal sudah tak lagi dipajang di aplikasi pemesanan tiket bioskop (Kompas.com, 14/2/2025).

Ini menunjukkan bahwa film tersebut tidak mampu bersaing dengan film lain yang dirilis bersamaan, seperti “Petaka Gunung Gede”, yang meraih lebih dari 1 juta penonton dalam waktu kurang dari seminggu.

Biaya produksi dan promosi untuk film “A Business Proposal” versi Indonesia belum secara resmi diumumkan dalam sumber yang tersedia.

Namun, terdapat indikasi bahwa film ini mengalami kerugian yang signifikan akibat rendahnya jumlah penonton.

Jika dibandingkan dengan film lainnya yang pernah diproduksi oleh Falcon Pictures biasanya memiliki biaya produksi berkisar antara 10 hingga 20 miliar rupiah untuk film sekelas ini.

Potensi kerugian bisa mencapai lebih dari Rp18,9 miliar, tergantung pada angka pasti biaya yang dikeluarkan.

Sejarah Singkat

Falcon Pictures didirikan pada tahun 2010 di Jakarta oleh H.B. Naveen, Dallas Sinaga, dan Frederica. Perusahaan ini memulai debutnya dengan film pertama berjudul “Dawai 2 Asmara”. 

Sejak awal, Falcon Pictures memiliki visi untuk menceritakan kisah-kisah yang luar biasa kepada masyarakat penikmat film di Indonesia.

Hingga tahun 2025, Falcon Pictures telah memproduksi lebih dari 50 film. Beberapa film yang paling terkenal antara lain: Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 & 2; Dilan 1990 & Dilan 1991; My Stupid Boss; Miracle in Cell No. 7; Comic 8: Casino Kings.

Falcon Pictures telah memproduksi sejumlah film yang meraih keuntungan besar dan menjadi box office di Indonesia. 

Berikut adalah beberapa film sukses yang diproduksi oleh Falcon Pictures beserta rincian mengenai jumlah penonton dan estimasi pendapatan kotor:

1. Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016). Mencapai lebih dari 6,8 juta penonton dan pendapatan kotor sekira Rp240 miliar.

2. My Stupid Boss (2016). Jumlah Penonton: 3.052.657 dengan pendapatan kotor sekira Rp106 miliar.

3. Dilan 1990 (2018): Mencapai lebih dari 6,3 juta penonton dengan pendapatan kotor sekira Rp221 miliar.

4. Dilan 1991 (2019): Mencapai lebih dari 5,2 juta penonton dengan pendapatan kotor sekira Rp183 miliar.

5. Miracle in Cell No. 7 (2022): Mencapai lebih dari 1,5 juta penonton dan pendapatan kotor sekira Rp75 miliar.

Kompasianer juga mungkin pernah menonton film lainnya, seperti Bumi Manusia (2019), Benyamin Biang Kerok (2020), Buya Hamka (2023), hingga Kang Mak from Pee Mak (2024).

Saya yakin kompasianer juga dapat menghitung sendiri estimasi keuntungan yang diperoleh Falcon Picture dari film-film tersebut.

Belajar dari Kegagalan Film A Business Proposal

Kritikus film di Indonesia memberikan analisis yang berlimpah mengenai kegagalan film tersebut. 

Dari sekian banyak pandangan, ada lima faktor utama yang berkontribusi terhadap rendahnya jumlah penonton film ini:

1. Kontroversi Aktor Utama: Salah satu aktor utama, Abidzar Al-Ghifari, membuat pernyataan kontroversial sebelum rilis bahwa ia tidak menonton versi asli dari drama Korea tersebut. 

Pernyataan ini memicu kemarahan di kalangan penggemar dan dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap sumber materi. Harus diingat bahwa warga Indonesia merupakan salah satu ‘pendukung’ fanatik K-Drama.

2. Kurangnya Orisinalitas dan Adaptasi yang Lemah: Teori adaptasi dari Linda Hutcheon (2006) menyatakan bahwa adaptasi yang sukses harus menyeimbangkan antara kesetiaan pada sumber asli dan kreativitas baru. 

Sayangnya, A Business Proposal Indonesia dianggap gagal dalam hal ini. 

Penonton merasa bahwa film ini terlalu mengandalkan popularitas drama Korea aslinya tanpa berusaha menciptakan identitas sendiri. Akibatnya, film ini kehilangan daya tarik bagi penonton yang mencari sesuatu yang segar.

3. Strategi Pemasaran yang Kurang Efektif: Strategi pemasaran film ini dinilai kurang agresif dan tidak menyentuh segmen penonton yang tepat. 

Menurut data dari perusahaan riset media, hanya 30% dari target penonton muda (usia 18-35 tahun) yang menyadari rilis film ini. Padahal, segmen ini merupakan penonton utama film-film romantis.

Produser Frederica menyatakan bahwa mereka hanya menjalani proses tanpa strategi khusus untuk meningkatkan jumlah penonton.

4. Persaingan dengan Konten Digital: Pada saat yang sama, film ini harus bersaing dengan berbagai konten digital yang lebih mudah diakses. 

Data dari We Are Social menunjukkan bahwa 70% penonton Indonesia lebih memilih menonton konten di platform streaming daripada pergi ke bioskop. 

Film ini juga dirilis hampir bersamaan dengan beberapa serial drama Korea baru di Netflix, yang menarik perhatian penonton yang seharusnya menjadi target pasar film ini.

5. Penilaian Negatif dari Penonton: Film ini mendapatkan rating sangat rendah di IMDb, yaitu 1/10, mencerminkan kekecewaan penonton terhadap akting dan kualitas produksi. 

Kritik juga menyebutkan dialog yang canggung dan sinematografi yang tidak sebanding dengan versi aslinya.

Faktor ketiga ini relevan dengan fenomena cancel culture. Dalam konteks ini, fenomena cancel culture dapat dilihat sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi publik terhadap film ini. 

Seruan boikot di media sosial menunjukkan bahwa audiens tidak hanya menolak film karena kualitasnya, tetapi juga sebagai respons terhadap tindakan dan pernyataan aktor yang dianggap tidak menghargai karya asli.

Cancel culture telah menjadi fenomena global yang tidak bisa diabaikan, terutama dalam industri hiburan. 

Menurut penelitian oleh Clark (2020), cancel culture tidak hanya memengaruhi reputasi individu, tetapi juga produk atau karya yang mereka bawa. 

Dalam kasus A Business Proposal, kontroversi yang melibatkan aktor utama telah menciptakan narasi negatif yang sulit diatasi.

Teori spiral of silence oleh Elisabeth Noelle-Neumann (1974) juga dapat menjelaskan fenomena ini. 

Ketika isu negatif mulai viral, orang cenderung diam atau menarik dukungan untuk menghindari konflik sosial. Hal ini memperburuk situasi, karena kurangnya dukungan publik membuat film ini semakin sulit menarik penonton.

Kesimpulan

Rendahnya jumlah penonton film “A Business Proposal” versi Indonesia merupakan hasil dari kombinasi beberapa faktor, termasuk kontroversi seputar aktor utama, kurangnya strategi pemasaran yang efektif, dan reaksi negatif dari publik.

Falcon Pictures yang sudah malang melintang di dunia perfilman selama 15 tahun, ternyata juga masih mengalami kegagalan. Hal ini memperlihatkan kompetisi yang cukup tinggi.

Meski Falcon Pictures sebagai sebuah perusahaan produksi film mengalamai kegagalan di film “A Business Proposal”, namun mereka masih tetap sukses dengan keuntungan cukup besar di ffilm-film lainnya.

Dengan situasi ini, penting bagi produser dan aktor untuk lebih sensitif terhadap tanggapan audiens serta menghargai sumber materi yang mereka adaptasi agar dapat menghindari kegagalan serupa di masa depan.

Referensi:

Clark Meredith D. (2020). Drag them: A Brief Etymology of So-Called “Cancel Culture.” Communication and the Public, 5 (3–4): 88–92.

Hutcheon, L. (2006). Interdisciplinary opera studies. PMLA, 121(3), 802-810.

NoelleNeumann, E. (1974). The spiral of silence a theory of public opinion. Journal of communication, 24(2), 43-51.

  • Share
Exit mobile version