Amnesti untuk Kelompok Bersenjata di Papua Bukan Penentu Utama Perdamaian

  • Share
Amnesti untuk Kelompok Bersenjata di Papua Bukan Penentu Utama Perdamaian

TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA – Pemerintah bakal memberikan amnesti atau pengampunan bagi mereka yang terlibat dalam konflik bersenjata di Papua.

Namun, langkah itu diharapkan diberikan untuk pelanggaran hukum biasa yang tidak tergolong sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menilai wacana pemberian amnesti tersebut baik meskipun bukan menjadi faktor tunggal untuk mendorong ekosistem perdamaian dan pelindungan hak asasi manusia di Papua.

Pada Selasa (21/1/2025), Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan, Presiden Prabowo Subianto sedang mempertimbangkan untuk memberikan amnesti kepada orang-orang yang terlibat dalam kelompok kekerasan bersenjata di Papua.

Kementerian Hukum sedang mendata siapa saja yang bisa diberikan amnesti itu.

”Presiden Prabowo sudah setuju untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat dalam konflik di Papua dan menyelesaikan masalah di sana secara damai dengan mengedepankan hukum dan HAM. Saya pikir ini akan menjadi harapan baru bagi kami untuk menemukan solusi bagi Papua,” kata Yusril melalui keterangan resmi.

Anggota Komnas HAM, Anis Hidayah, berpandangan, ide atau gagasan memberikan amnesti untuk Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Papua sebenarnya bisa menjadi langkah baik.

Baca juga: Aktivis Finlandia Ini Ingin Jadi Mediator Dialog Konflik Papua, OPM Ancam Tembak Juha Christensen

Walakin, hal itu tidak menjadi faktor tunggal untuk mendorong ekosistem perdamaian dan pelindungan HAM di Papua.

Masih ada banyak faktor yang perlu dilihat kembali, misalnya bagaimana memastikan masyarakat, terutama di daerah otonom baru (DOB) di Papua, mendapatkan pelindungan HAM.

”Pemerintah perlu lebih banyak melibatkan masyarakat adat untuk penyelesaian konflik sumber daya alam (SDA) dan memastikan tidak terjadinya keberulangan kasus-kasus kekerasan di Papua,” kata Anis.

Hal lain yang mendesak diperlukan untuk mendorong perdamaian di Papua adalah memastikan mekanisme penegakan hukum yang berperspektif HAM. Korban pelanggaran HAM juga penting untuk mendapatkan mekanisme pemulihan.

Hal itu dinilainya lebih mendesak untuk diwujudkan oleh pemerintah.

 ”Tetapi, gagasan soal amnesti bagi OPM/KKB/TPNPB tentu itu menjadi langkah yang baik sebagai salah satu faktor yang nantinya bisa diharapkan untuk mendorong terjadinya dialog damai di Papua,” ujar Anis.

Instrumen hukum

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menuturkan, dalam konteks Papua, kebijakan amnesti dan abolisi idealnya diberikan untuk pelanggaran hukum yang tidak tergolong sebagai pelanggaran HAM berat.

Amnesti dan abolisi adalah instrumen hukum yang digunakan untuk memberikan pengampunan atau menghapuskan tuntutan pidana terhadap pelaku kejahatan tertentu.

Usman menuturkan, pelanggaran HAM berat tidak boleh termasuk dalam cakupan kejahatan yang diberikan amnesti atau abolisi.

Prinsip itu sejalan dengan standar HAM internasional yang menegaskan bahwa pelaku pelanggaran HAM berat harus dimintai pertanggungjawaban di pengadilan.

”Inti penting untuk mencegah terjadinya impunitas,” ujar Usman.

Pemerintah harus memastikan bahwa pelaku pelanggaran HAM berat di Papua dan di daerah-daerah lain harus tetap diproses melalui mekanisme hukum yang adil dan transparan, yaitu pengadilan HAM.

Usman menambahkan, kebijakan abolisi dan amnesti dapat menjadi langkah awal yang penting untuk memulai langkah mengakhiri kekerasan dan konflik bersenjata di Papua.

Untuk itu, saat memulai kebijakan itu, pemerintah harus melakukan dialog dengan semua pihak, dari tokoh-tokoh adat, perempuan, gereja, masyarakat, hingga kelompok prokemerdekaan Papua.

Dengan demikian, amnesti dan abolisi bisa menjadi bagian dari kebijakan yang lebih besar, yaitu untuk mengakhiri konflik bersenjata dan membangun perdamaian.

”Jangan lupa, pengakuan dan penghormatan negara atas hak-hak masyarakat adat, pembangunan yang berkeadilan, dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua tetap mutlak diperlukan,” kata Usman.

Lebih lanjut, pekerjaan rumah pemerintah lainnya adalah memastikan orang asli Papua (OAP) mendapatkan manfaat nyata dari pembangunan di Papua.

Manfaat itu bukan hanya berupa infrastruktur, melainkan juga pelindungan kebebasan sipil dan politik, pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan.

”Siapa pun yang ingin mengupayakan perdamaian di Papua patut disambut baik selama yang bersangkutan merupakan pihak yang imparsial atau tidak berpihak serta diterima oleh seluruh pihak yang terlibat dalam permusuhan dan konflik bersenjata, terutama perwakilan negara Indonesia dan kelompok prokemerdekaan Papua,” ujar Usman.

Sebelumnya, wacana terkait pemberian amnesti dan abolisi bagi kelompok bersenjata di Papua itu disampaikan Yusril saat bertemu dengan delegasi pemerintah Kerajaan Inggris yang dipimpin oleh Catherine West MP di Kantor Kemenko Kumham Imipas, Senin (20/1/2025).

Selain itu, hadir pula Duta Besar Kerajaan Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Dominic Jermey.

Dalam diskusi yang hangat itu, Duta Besar Inggris Dominic Jermey sempat menanyakan kebijakan Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Prabowo terhadap konflik di Papua.

Pertanyaan itu sering kali muncul di Parlemen Inggris terutama tentang tudingan pelanggaran HAM di Papua. Parlemen Inggris kerap bertanya apakah kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua diselesaikan melalui pengadilan umum atau pengadilan HAM.

Yusril pun menjawab bahwa kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Papua selama ini diselesaikan melalui pengadilan umum.

”Kami masih mendiskusikan dengan Presiden Prabowo Subianto apakah beliau akan menggunakan pendekatan baru terhadap masalah yang ada di Papua. Yang jelas, pemerintah Presiden Prabowo akan lebih mengedepankan hukum dan HAM dalam menyelesaikan setiap permasalahan di Papua,” kata Yusril.

Yusril juga menyebut Pemerintah Indonesia menjamin penegakan hukum dan keamanan di Papua bersifat terukur untuk mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM yang berat.

Baca juga: Brigpol Ronald Enok Ditembak KKB Papua Usai Mengantre Minyak Tanah, Telenggen Aktor Pembunuhan

Adapun terhadap pelaku kekerasan yang dilakukan kelompok bersenjata baik terhadap polisi dan TNI maupun rakyat sipil diselesaikan melalui pengadilan umum.

Pemerintah belum melihat kasus-kasus di Papua perlu diselesaikan melalui pengadilan HAM.

Mendengar penjelasan itu, Menteri Catherine West mengucapkan terima kasih atas penjelasan Yusril.

Ia pun berjanji akan menyampaikan jawaban itu ketika bertemu dengan anggota Parlemen Inggris yang sering menyoroti isu Papua.

”Terima kasih atas penjelasannya. Sebab, ada sejumlah anggota parlemen yang sering mempertanyakan masalah ini. Akan saya sampaikan kepada mereka ketika saya kembali ke London bahwa saya telah mendiskusikan ini dengan seorang menteri yang memiliki latar belakang hukum,” kata Catherine.

Yusril menambahkan, Kemenko Kumham Imipas memiliki komitmen yang kuat untuk menyelesaikan konflik di Papua.

Salah satu pihak yang sudah menawarkan bantuan itu adalah Juha Christensen, aktivis perdamaian asal Finlandia yang pernah terlibat dalam proses perdamaian di Aceh.

Aktivis tersebut menawarkan untuk menjadi mediator dialog antara Pemerintah Indonesia dan kelompok-kelompok di Papua. Selain itu, juga kelompok pendukung kemerdekaan Papua di luar Indonesia.

Namun, sejauh ini, Pemerintah Indonesia berpendapat belum memerlukan adanya mediator untuk memfasilitasi perundingan damai dalam menyelesaikan masalah di Papua, seperti dilakukan di Aceh pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. (*)

Berita ini dioptimasi dari Kompas.id, silakan klik dan berlangganan.

  • Share